Waspada Leptospirosis Di Sekitar Pelabuhan

Oleh Yufa Zuriya

Bagi sebagian orang Leptospirosis merupakan penyakit yang jarang ditemui dan mungkin terdengar asing. Namun, sebenarnya Leptospirosis sangat dekat dengan lingkungan kita karena faktor penularnya merupakan binatang yang ada di sekitar kita yaitu, tikus, anjing, babi, kuda dan sapi. Menurut data Center for Disease Control and Prevention (CDC) tahun 2018, diperkirakan terdapat 1 juta kasus leptospirosis di seluruh dunia yang terjadi setiap tahunnya dengan 60.000 angka kematian. Dan di Amerika Serikat terdapat sekitar 100-150 kasus Leptospirosis yang terlaporkan setiap tahunnya. Berdasarkan data WHO Indonesia, pada tahun 2019 terdapat 920 kasus Leptospirosis dilaporkan di Indonesia dengan 122 kematian. Kasus-kasus ini dilaporkan dari sembilan provinsi (Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Maluku, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Utara). Sedangkan, untuk dilingkungan pelabuhan sendiri kasus terbaru Leptospirosis yang terlaporkan terjadi di tahun 2024 dengan 8 kasus kematian. Kasus yang pertama terjadi pada Bulan Agustus 2024 di perairan Merak, Banten dimana terlaporkan 6 orang Anak Buah Kapal (ABK) nelayan meninggal akibat Leptospirosis. Kasus yang kedua juga terjadi pada Anak Buah Kapal (ABK) kapal nelayan di Pekalongan pada Bulan Oktober 2024 dengan 2 kasus kematian terlaporkan akibat Leptospirosis.

 

Penyakit Leptospirosis disebabkan oleh bakteri Leptospira Sp yang hidup bertahun-tahun di ginjal binatang-binatang yang dapat menyebabkan Leptospirosis. Bakteri Leptospira dapat keluar bersama dengan urine/kencing binatang sehingga mencemari air, tanah, makanan, atau barang-barang di sekitar kita. Bakteri Leptospira dapat menular ke manusia melalui kontak kulit manusia yang terluka dengan urine binatang pembawa bakteri leptospira, kontak kulit dengan air/tanah/makanan/barang-barang yang terkontaminasi urine binatang pembawa bakteri leptospira, dan mengonsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi urine binatang pembawa bakteri leptospira. Gejala Leptospirosis mirip dengan penyakit influenza yaitu, demam, sakit kepala, flu, mual, muntah, diare, sakit perut namun terkadang juga disertai dengan bengkak di tangan/ kaki dan kulit berwarna kuning.

 

Dari beberapa binatang pembawa bakteri Leptosipira, tikus merupakan binatang yang paling sering menyebabkan Leptospirosis. Selain populasi nya yang paling banyak diantara binatang penular lainnya, tikus memiliki ukuran yang lebih kecil diantara lainnya sehingga mobilitasnya lebih cepat untuk berpindah dari tempat satu ke tempat lainnya. Tikus juga cenderung banyak ditemui disekitar kita karena beberapa faktor yang dapat mengundang keberadaan tikus seperti, adanya tumpukan sampah, tumpukan barang, adanya celah untuk masuk tikus, kondisi lingkungan yang gelap dan lembab, adanya genangan air, dan lain sebagainya. Tikus juga seringkali ditemukan di area pelabuhan maupun di kapal dimana keberadaannya dapat menimbulkan berbagai permasalahan. Tidak hanya dari segi kesehatan, permasalahan yang timbul akibat keberadan tikus juga menyebabkan kerugian secara ekonomi karena keberadaan tikus dapat merusak bahan makanan, merusak peralatan (kebiasaan mengerat), menimbulkan konsletinng atau kebakaran akibat kebiasaan menggigit kabel, dan lain sebagainya.

Secara umum pengendalian populasi tikus di area pelabuhan dapat dilakukan secara fisik, kimia, dan biologi. Pengendalian tikus di kapal dan pelabuhan secara khusus diatur dalam Permenkes No. 34 Tahun 2013. Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk melakukan pemberantasan tikus seperti, melakukan pemasangan perangkap, penggunaan racun tikus (rodentisida), fumigasi, biological control (melepaskan musuh-musuh tikus), dan pemasangan rat guard.

Sebagai instansi pemerintah yang salah satu tugas dan fungsi nya melakukan pengendalian dan penyehatan lingkungan di kapal dan area pelabuhan, Balai Besar Kekarantinaan Kesehatan (BBKK) Tanjung Priok berkomitmen untuk melakukan upaya pencegahan penyebaran Leptospirosis di lingkungan pelabuhan. Sebagai bentuk kewaspadaan, BBKK Tanjung Priok melakukan upaya-upaya pencegahan peyebaran Leptospirosis seperti, melakukan koordinasi dengan lintas sektor, melakukan pemeriksaan kebersihan kapal, secara aktif menghimbau kepada kapten/crew/ABK kapal untuk menjaga kebersihan dan waspada tehadap leptospirosis, melakukan Penyelidikan Epidemiologi, dan melakukan sosialisasi kepada pengusaha atau pemilik kapal (khususnya kapal ikan) terkait penyakit Leptosipirosis.

BBKK Tanjung Priok memilki 5 (lima) Wilayah Kerja dimana 2 (dua) diantaranya merupakan Pelabuhan Perikanan yaitu, Wilayah Kerja Pelabuhan Muara Angke dan Wilayah Kerja Pelabuhan Samudera Muara Baru. Seperti kita ketahui bahwa 3 (tiga) kasus terbaru Leptospirosis terjadi pada Anak Buah Kapal (ABK) nelayan, hal tersebut menjadi suatu kewaspadaan bagi BBKK Tanjung Priok mengingat BBKK Tanjung Priok memiliki 2 (dua) wilayah kerja yang termasuk dalam kategori pelabuhan perikanan yang mana dalam kegiatan pelayaran kapal di 2 (dua) wilayah kerja tersebut tentu saja melibatkan Anak Buah Kapal (ABK) nelayan. Beberapa waktu lalu tepatnya setelah kejadian kematian ABK di Pekalongan, BBKK Tanjung Priok khususnya wilayah kerja Muara Angke dan Muara Baru aktif melakukan himbauan dan kegiatan yang dapat mencegah penyebaran Leptospirosis di kedua pelabuhan tersebut. Sejak Bulan Oktober 2024 Wilker Muara Angke berinisiatif untuk membuat himbauan tentang kewaspadaan Leptospirosis yang dicetak dan ditempel di setiap buku kesehatan kapal yang melakan lapor keberangkatan.

Selain itu, pada tanggal 24 Oktober 2024 Wilker Muara Angke juga melakukan pertemuan dengan pengelola pelabuhan, pengusaha kapal, dan pengurus kapal untuk melakukan sosialisai terkait Leptospirosis. Materi disampaikan oleh BBKK Tanjung Priok yang terdiri dari:

  1. Bioekologi Tikus yang disampaikan oleh Subarjo, SKM
  2. Pengendalian Tikus di Kapal yang disampaikan oleh Agus Sudarman, SKM, MKM
  3. Penyakit Leptospirosis yang disampaikan oleh dr. Juli Maretha, MKM